Ragam Bahasa Perempuan (Joseigo)
Bahasa wanita (feminine language)
adalah sebuah variasi bahasa Jepang, yang biasa disebut joseigo atau onna
kotoba, yang secara khusus dipakai oleh kaum wanita sebagai suatu refleksi femininitas
mereka. Keberadaan gaya bahasa yang secara tegas membedakan jenis kelamin
tersebut merupakan karakteristik bahasa Jepang.
Perbedaan mendasar dalam ragam bahasa pria
dan wanita, diantaranya dapat dilihat dari segi: intonasi, struktur, dan ungkapan.
Pada umumnya, penutur wanita menggunakan intonasi, struktur, dan ungkapan yang
cenderung lebih halus dan lebih sopan jika dibandingkan dengan penutur pria.
Hal ini bertujuan untuk memberikan kesan feminisme, memenuhi tingkat keakraban,
menghindari kesan dominan, dan menunjukkan prestisius (harga diri, derajat
keberadaan dalam masyarakat).
Aspek-aspek yang menjadi penanda ragam bahasa
wanita adalah pemakaian shuujoshi (bunmatsu hyoogen) dan aspek
leksikal (pemakaian pronomina persona dan pemakaian interjeksi).
1.
Pemakaian Shuujoshi (Bunmatsu Hyoogen)
Ciri-ciri
ragam bahasa wanita yang sangat mencolok dalam bahasa Jepang dapat adalah
pemakaian shuujoshi. Shuujoshi
adalah partikel (joshi) yang dipakai pada akhir kalimat atau pada akhir
bagian kalimat untuk menyatakan ekspresi pembicara, larangan, pertanyaan atau
keragu-raguan, harapan, atau permintaan, penegasan, perintah, dan sebagainya.
Partikel-partikel yang termasuk kelompok shuujoshi adalah ka, kashira,
ke/kke, nee, no, wa, ze, zo, na, naa, yo, tomo, sa, dan ne.
Partikel
pada akhir kalimat tertentu hanya mutlak dipakai oleh perempuan misalnya dalam
penggunaan shuujoshi ~ne, ~kashira, ~wa, sedangkan partikel yang mutlak dipakai oleh
pria adalah misalnya dalam penggunaan shuujoshi ~yo, ~sa,
~ze, ~zo.
Shuujoshi
digunakan dalam suatu percakapan dengan melihat tentang keadaan perasaan
pembicara kepada lawan bicara dan tingkah laku pembicara sebagaimana
kemaskulinan dan kefeminimannya.
a)
Partikel ~kashira
Partikel
~kashira pada umumnya dipakai dalam ragam bahasa wanita. Partikel ini sama
dengan partikel ~ka yang berfungsi menyatakan kalimat tanya. Sebagai contoh
penggunaan ~kashira yang menyatakan kalimat tanya terdapat pada drama Itazura
Na Kiss 2013 episode 2 pada menit 09.27. Irie Noriko mengetuk pintu kamar
Aihara Kotoko sambil berkata 「ことこちゃん、ちょっといいかしら」
Selain untuk
menyatakan kalimat tanya partikel ~kashira dapat dipakai pada akhir kalimat negatif untuk
menyatakan harapan atau keinginan pembicara. Misalnya, 「だれか来てくれないかしら」
Partikel ~kashira dipakai setelah
nomina, kata sifat-i dan kata sifat-na secara langsung atau terlebih dulu
ditambah desu, dan dapat dipakai setelah verba bentuk kamus, bentuk ~masu,
bentuk lampau, dan bentuk negatif. Selain itu kata ~kashira dapat
dipakai setelah kata tanya seperti dou, itsu, doko, dan
sebagainya. Walaupun ada penutur pria yang mengucapkan partikel ~kashira,
namun jumlahnya sangat terbatas. Pria lazimnya menggunakan partikel yang
menunjukkan pertanyaan yang lebih tegas seperti ~kana atau ~darouka.
b) Partikel ~wa, ~wayo, dan ~wane
Partikel
~wa dipakai pada bagian akhir kalimat ragam lisan. Partikel ~wa
berfungsi untuk memberikan efek lembut bahasa yang diucapkan. Hal ini sebagai
salah satu cara untuk menunjukkan femininitas penuturnya. Oleh karena itu,
partikel wa jarang diucapkan oleh pria, sebagai gantinya mereka sering
menggunakan partikel ~zo atau ~ze yang menunjukkan kekuatan atau
ketegasan penuturnya. Partikel ~wa dipakai setelah kata sifat-na
ditambah ~da atau ~desu, kata sifat-i, bentuk kamus atau ditambah ~desu,
nomina ditambah ~da, atau setelah verba bentuk kamus, bentuk ~masu,
bentuk negatif, dan bentuk lampau.
(a) まあ、いいわ。
(b) みんな知っているわ。
(c) まあ、きれいだわね。
(d) もう終わったわよ。
Partikel
~wa pada kalimat (a) dan kalimat (b) dipakai untuk menyatakan perasaan
pembicara seperti rasa haru, rasa terkejut, rasa kagum, pikiran atau pendapat,
dan kemauan atau keinginan pembicara. Partikel ~wa dapat ditambah
partikel ~ne sehingga menjadi ~wane seperti pada kalimat (c) .
Pemakaian partikel ~wane ini berfungsi untuk meminta persetujuan atau
meminta ketegasan dari lawan bicara tentang hal-hal yang diucapkannya. Partikel
~wa pun dapat ditambah partikel ~yo sehingga menjadi ~wayo
seperti pada kalimat (d). Pemakaian partikel ~wayo ini berfungsi untuk
menyatakan ketegasan atau penekanan pada pendapat, pikiran, atau hal-hal lain
yang diucapkan secara halus.
c) Partikel ~no, ~none, dan ~noyo
Partikel ~noyo berasal dari dua
buah partikel yaitu partikel ~no dan ~yo. Begitu juga partikel ~none
yang berasal dari partikel ~no dan partikel ~ne. Partikel ~no
digunakan saat menyatakan keputusan atau ketegasan.
(a) 彼は親切なの。
(b) 彼は親切なのよ。
(c) すてきなのね。
Pada kalimat-kalimat di atas tampak
kelembutan penuturnya sebagai akibat pemakaian partikel ~noyo dan ~none.
Partikel ~noyo pada kalimat (b)
berfungsi untuk menyatakan pendapat atau pikiran yang diucapkan dengan lemah
lembut dan penuh kesopanan. Begitu pun partikel ~none pada kalimat (c)
yang berfungsi untuk menyatakan pendapat yang tidak tegas sehingga dirasa perlu
meminta pendapat atau ketegasan dari lawan bicara.
2. Aspek Leksikal
Ciri-ciri joseigo yang kedua dilihat
dari pemakaian kosakata. Sebab terdapat kosakata yang pemakaiannya sangat
tinggi dilakukan wanita. Kosakata yang dimaksud dapat dilihat dalam pemakaian
pronomina persona pertama dan pemakaian interjeksi.
a. Pemakaian
Pronomina Persona
Dalam bahasa Jepang terdapat berbagai
macam pronomina persona yang dipakai secara berbeda-beda berdasarkan siapa
penuturnya, siapa lawan bicaranya, situasi, atau kapan pembicaraan itu terjadi.
Dalam kelompok pronomina persona pertama yang biasanya dipakai oleh wanita
adalah watashi, watakushi, atashi, atakushi, atai,
dan warawa. Watashi termasuk ragam standar dan netral yang biasa
dipakai baik oleh pria maupun wanita untuk menunjukkan diri sendiri. Lebih
halus dari watashi ialah watakushi yang juga dipakai secara
netral baik oleh pria maupun wanita. Lalu atashi dan atakushi biasanya
dipakai oleh wanita dalam konteks yang tidak formal. Sedangkan atai dan warawa
adalah ragam bahasa wanita yang sudah tidak lagi dipakai. Dahulu atai dipakai
oleh para wanita penghibur di Tokyo sementara warawa dipakai oleh para
istri samurai.
Lalu sebagai pronomina persona kedua
yang biasa dipakai oleh wanita ialah anata dan anta. Anata
dipakai terhadap orang yang sederajat dengan pembicara atau terhadap bawahan.
Dalam percakapan sehari - hari anata kadang-kadang diucapkan anta.
Sedangkan pada pronomina persona ketiga
terdapat kata kare untuk pria dan kanojo untuk wanita. Kedua kata
ini bersifat netral, bisa dipakai oleh pria maupun wanita. Kedua kata ini
jarang dipakai terhadap orang yang lebih tua umurnya atau lebih tinggi
kedudukannya daripada pembicara. Selain kare dan kanojo, dalam
kelompok pronomina persona ketiga terdapat kata aitsu yang berasal dari ayatsu
yang sepadan dengan ano yatsu. Pronomina persona ketiga aitsu
sangat kasar karena mengandung makna merendahkan orang yang dibicarakan. Dengan
alasan ini aitsu tidak dipakai untuk menunjukkan orang yang pantas
dihormati.
b. Pemakaian
Interjeksi
Pemakaian kosakata yang menunjukkan
perbedaan pria-wanita dalam bahasa Jepang dapat dilihat juga dari pemakaian
interjeksi. Interjeksi merupakan kata seru untuk mengungkapkan perasaan dan
maksud seseorang. Dalam bahasa Jepang,
wanita biasanya mengatakan maa atau araa. Interjeksi maa
menunjukkan perasaan terkejut. Kata maa dipakai dalam ragam lisan, tidak
dipakai dalam ragam tulisan. Kata ini muncul dalam ragam bahasa wanita, tidak
dipakai oleh pria. Maa dipakai pada saat pembicara merasa terkejut atau
pada saat merasa heran atas sesuatu. Sementara interjeksi araa merupakan
kata yang muncul pada waktu merasa terkejut, merasa heran, atau pada saat
merasakan keragu-raguan.
3.2 Ragam
Bahasa Pria (Danseigo)
Bahasa pria
adalah sebuah variasi bahasa Jepang yang biasa disebut danseigo atau
otoko kotoba. Bentuk penggunaan danseigo tersebut dapat
menunjukkan bentuk kemaskulinan dan ketegasan penutur dalam penyampaian
informasi terhadap lawan tutur dalam komunikasi bahasa Jepang. Danseigo
dipakai pada situasi tidak formal, sedangkan pada situasi formal hampir tidak
ada perbedaan antara pria dan wanita dalam pemakaian bahasa.
Sama
seperti joseigo, terdapat pula aspek-aspek yang menjadi penanda ragam
bahasa pria diantaranya pemakaian shuujoshi (bunmatsu hyoogen)
dan aspek leksikal (pemakaian pronomina persona, pemakaian interjeksi, dan
pengucapan kata sifat dan kata kerja yang berbeda).
1.
Pemakaian Shuujoshi (Bunmatsu Hyoogen)
Berbagai shuujoshi yang dipakai oleh pria ialah ~ze, ~zo,
dan ~darou. Pemakaian shuujoshi ~ze dipakai
untuk pernyataan atau menunjukkan keinginan si pembicara.
Contoh
:
Kurata :
先に行くぜ!!(aku
berangkat duluan!!)
Lalu pemakaian shuujoshi
~zo memiliki fungsi partikel
akhir yang diperuntukkan untuk mempertegas informasi makna yang akan
disampaikan, dalam tuturan tersebut berupa tuturan yang dipertegas untuk
mengingatkan diri sendiri akan sesuatu hal. Karena untuk mempertegas makna
tuturan, maka shuujoshi ~zo ini memiliki karakter dan ciri yang
tegas, keras, dan langsung mengarah pada sasaran.
Contoh :
Kurokiba : お前,
甘すぎるぞ!!(kau,
terlalu naif!!)
Selanjutnya shuujoshi yang
dipakai ialah ~darou.
Contoh
:
Nishinoya :
イッシキ君、この試合の勝者は誰だと思う?
Isshiki : さあ、だから、俺たちは見に来たんだろう。
2. Pemakaian Pronomina Persona
Dalam kelompok
pronomina persona pertama yang biasa dipakai laki - laki watakushi, watashi,
boku, ore, washi, jibun,
dan ware. Watashi termasuk ragam standar dan netral yang biasa
dipakai baik oleh pria maupun wanita untuk menunjukkan diri sendiri. Watashi
dapat dipakai oleh atasan terhadap bawahan, atau sebaliknya, dipakai oleh
bawahan terhadap atasan. Sebagai kata yang lebih halus daripada watashi
adalah watakushi yang juga dipakai secara netral baik oleh pria maupun
wanita. Boku dan ore termasuk pada ragam bahasa pria yang dipakai
pada situasi tidak resmi terhadap orang yang sederajat, teman sebaya yang
akrab, atau terhadap bawahan. Kedua kata ini jarang dipakai terhadap atasan.
Bahkan pemakaian kata ore terkesan kasar yang menunjukkan penuturnya
yang keras. Kata ware memiliki makna yang lebih kuat daripada watakusi,
watashi, boku, dan ore. Kata ware sering dipakai
oleh penutur pria dalam bentuk jamak wareware. Kata washi pun
dipakai hanya oleh pria. Pemakaian kata washi menunjukkan kesombongan,
keangkuhan, atau kecongkakan penuturnya. Sedangkan pronomina persona pertama jibun
memiliki makna yang sama dengan ware yang biasa dipakai oleh penutur
pria.
Lalu sebagai pronomina
persona kedua dipakai kata kimi, omae, temee dan kisama.
Kimi hampir sama dengan omae dan kisama, dipakai terhadap orang
yang sederajat dengan pembicara, dengan teman akrab yang sebaya, atau terhadap
bawahan. Pemakaian kata kimi bisa menunjukkan keakraban antara pembicara dan
lawan bicara. Kata omae terkesan sangat kasar. Namun dalam suasana akrab
pemakaian omae tidak terasa kasar, bahkan dapat menunjukkan suasana
akrab. Berbeda dengan kimi dan omae, kisama lebih sering dipakai
pada saat pembicara marah untuk menunjukkan cacian atau makian terhadap lawan
bicara. Sementara temee merupakan bentuk penyingkatan dari kata temae
yang penggunaannya sangat merendahkan lawan bicara dan hanya digunakan untuk
bawahan.
Sedangkan pada
pronomina persona ketiga terdapat kata kare untuk pria dan kanojo
untuk wanita. Kedua kata ini bersifat netral, bisa dipakai oleh pria maupun
wanita. Kedua kata ini jarang dipakai terhadap orang yang lebih tua umurnya
atau lebih tinggi kedudukannya daripada pembicara. Selain kare dan kanojo,
dalam kelompok pronomina persona ketiga terdapat kata aitsu yang berasal
dari ayatsu dan koitsu. Pronomina persona ketiga aitsu dan
koitsu sangat kasar karena mengandung makna merendahkan orang yang
dibicarakan. Dengan alasan ini aitsu dan koitsu tidak dipakai
untuk menunjukkan orang yang pantas dihormati.
3.
Adjektiva- I (katasifat
i)
Pada danseigo (bahasa laki-laki) kata
sifat –I sering diucapkan ee menjadi – ee.
4.
Verba (doushi)
Verba dalam danseigo berbeda dengan verba ragam bahasa lainnya. Terkadang
melenceng dari arti verba yang sebenarnya dan lebih tegas.
Contoh :
先輩 : 多分、お前らよりうまいぞ!!ハハハ
Senpai : tabun omaera
yori umai zo!!Hahaha
(Mungkin. Dia
lebih hebat dari kalian loh!!
Hahaha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar